Laman

11.03.2011

Soulmate

Saya percaya bahwa cinta itu ada, tapi sempat skeptis mengenai adanya konsep soulmate dan semacamnya. Ah tapi kata orang, ngga boleh sesumbar, mungkin si soulmate sedang dalam perjalanannya menuju saya. Sejujurnya, saya paling ngga suka menunggu. Tapi entah kenapa, untuk satu orang itu saya punya cadangan toleransi waktu tak terhingga. Satu orang itu adalah dia, yang masih disembunyikan Tuhan dalam tanganNya. Mungkin tangan kiri atau tangan kanan, saya tidak pernah tau pasti.


Kalau nanti dia membaca tulisan ini, pasti dia menilai saya terlalu sentimentil atau apa. Setidaknya dia tau, dia istimewa. Saya tidak tau, apakah dia berasal dari negara mana, apakah dia berkacamata, berbadan tidak terlalu kurus, berambut cepak, atau akan seperti apa. Terserah. Bisa dibilang, saya mati terhadap segala kriteria rupa.
saya menunggu dia yang bisa memperlakukan saya sebagai pasangan secara sehat dan pintar.
saya menuggu dia yang tau apa arti mencinta. bagaimana mencinta.


Tapi, seringkali terbayang, dia adalah sosok menyenangkan, yang tidak pernah kehabisan cerita untuk dibagi. Mendatangi saya dengan mata berbinar, antusias membicarakan mimpi, ide, dan rencananya. Membuat saya betah duduk berlamalama. Dia bisa menjawab semua pertanyaan berdasar logika. Saya membayangkan, ketika bersama dia, maka bosan itu tidak pernah ada. Dia selalu berhasil membuat saya tertawa. Saya juga membayangkan, dia jago sekali memainkan alat musik dan senang mengabadikan momen melalui kameranya. Dengan caranya, dia selalu bisa meyakinkan saya yang sering tidak yakin pada diri sendiri. Singkat kata, saya penggemarnya nomor satu.

Sebentar, saya menarik nafas sejenak sambil menuliskan ini. Bertemu saja belum, tapi sudah berekspektasi berlebihan.
kasihan?
terserah.

Tidak ada ‘bahagia selamanya’ yang saya janjikan. Tapi saya siap menjadi teman hidupnya, melewati setiap tanjakan, belokan, turunan, hingga menemukan jalanan tanpa rintangan. Saling membantu membaca rambu.
Saya tidak butuh sosok sempurna yang mengagumkan, cukup dia yang selalu hadir menenangkan ketika saya diserang kepanikan. Sebaliknya, saya bersedia meminjamkan bahu sehabis dia lelah seharian, tidak tau ke mana harus menuju.


Kami, manusia biasa yang saling bisa membuat satu sama lain luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar